Sabtu, 09 September 2017

Diam



Diam,

Apakah kita harus menganggap gunung sebagai tempat 
ibadah agar terbebas dari sampah dan tetap suci?

Apakah kita harus memandang lereng dan merasakan 
susahnya jadi petani agar berhenti mengotori?

Apakah perlu kita menghadapi gemuruh halilintar yang 
bersahutan tanpa henti agar mengerti arti sunyi?

Apakah harus kita duduk setia menunggu sampah yang tercerca 
diurai bakteri tanpa henti entah berapa lama,
agar kita paham arti peduli dan merendah diri?

Seberapa besar lagi bendera yang harus dikibarkan,
agar kita mengerti apa itu arti saling menghormati?? 


Jogja, 5 Agustus 2017


*Merah putih berkibar di jalur pendakian Gunung Merbabu via Suwanting, in frame Gunung Merapi.

Rindu (.)



kau itu ada di pegunungan
melarut dalam setiap kabut yang tebal
merindumu berarti menantang
tuk tersesat dan takkan bisa pulang

Sindoro, Jawa Tengah


Jika teman-teman hendak mendengarkan puisi ini, saya coba membacakannya. Berikut link-nya: https://www.instagram.com/p/BTT9dvGD4in/?hl=en&taken-by=aaddeek

Matur suksma.

Jumat, 08 September 2017

Kita

kita sama tahu bahwa rindu
jaraknya menyiksa

kita sama tahu bahwa rasa
harus dipelihara

kita sama tahu 
kau dan aku
adalah ragu

tapi kuberitahu
jarak itu akan kubuatkan rumah
dengan rasa yang tumbuh megah
dan ragu yang berbuah candu

agar kita sama tahu 
kadang menunggu itu memang perlu
sebab jarak diciptakan dari perasaan yang beradu
dan perihalmu akan tetap menjadi yang kutuju


Agustus, Jogja-Surabaya


>> Sebuah imajinasi yang kucuri dari kekhilafan tentang percobaan merindukan seseorang, setiap kebohongan akan terasa sangat indah asalkan kita mampu membuta. 

Diam

Diam, Apakah kita harus menganggap gunung sebagai tempat  ibadah agar terbebas dari sampah dan tetap suci? Apakah kita harus...